Jumat, 19 Juni 2009

ISLAM DENGAN KEHIDUPAN POLITIK

Milenium ketiga yang disertai dengan iklim globalisasi, ditandai dengan beberapa hal yang berkesinambungan dari abad modern dan modernisasi. Pada masa ini, semakin menguatnya materialisme, persaingan global dan kebebasan bertindak yang luar biasa. Hal ini disebabkan oleh pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi.

Selain itu, masa-masa ini juga ditandai dengan menguatnya paham sekulerisme yang berusaha untuk memisahkan agama dengan kehidupan politik. Paham sekulerisme muncul di Eropa akibat masa renessaincce. Paham ini berpendapat bahwa kehidupan dunia tidak bisa dicampurkan dengan kehidupan akhirat. Paham ini muncul sebagai pemberontakan akibat kediktatoran gereja-gereja di Eropa yang terkadang malah mendukung kerajaan daripada rakyat jelata dengan alasan-alasan agama, sehingga sekulerisme yang selalu mengutamakan rasio menjadi jalan melawan agama yang ajarannya tidak dapat diterima akal pikiran.

Tentunya jika sekulerisme dihadapkan dengan ajaran Islam akan berbeda. Karena Islam adalah agama yang sempurna yang di dalamnya telah terkandung semua tuntunan untuk segala aspek kehidupan. Dan juga ajaran-ajaran Islam dapat diterima akal sehat. Agama Islam, melalui wahyu Allah SWT. dapat menjelaskan berbagai hal yang tidak mampu dijelaskan oleh akal, pikiran, dan pengalaman manusia. Oleh karena itu, manusia dalam masa modern atau postmodern tetap membutuhkan agama sebagai tuntunannya menjalani kehidupan. Islam sebagai suatu agama yang sempurna memiliki tuntunan dalam menjalani kehidupan poltik. Dan adalah suatu urgensi untuk segera melaksanakan kehidupan politik yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam

Politik, dalam arti umum berarti segala cara(siasat) yang dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, sedangkan dalam arti khusus, politik berarti segala upaya yang dilakukan untuk memperoleh, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan baik untuk tujuan positif maupun tujuan negatif. Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, Pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara.

Pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam dan politik sebagai pemikiran Islam politik. Ketika sejak Revolusi Prancis agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan gereja dan negara–bahwa gereja harus terpisah dari negara—Islam masih berkutat pada persoalan yang satu ini, sejak zaman Nabi hingga zaman kini.
Pendapat-pendapat para ahli asing tentang Islam dan kehidupan politik :
1. Dr. V. Fitzgerald berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
2. Prof. C. A. Nallino berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata :"Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
6. Sir. T. Arnold berkata : " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata : "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Islam menunjukkan bagaimana seharusnya berkehidupan politik. Peranan Islam dalam kehidupan politik dapat kita lihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Islam menghendaki kehidupan politik berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi). Terkadang kita melihat bagaimana Islam sering dikaitkan dengan sistem teokrasi dan monarki, namun sesungguhnya Islam bukanlah agama yang menghendaki teokrasi dan monarki. Islam menghendaki adanya kedaulatan rakyat secara utuh, maksudnya adalah bila rakyat di suatu negara menghendaki negaranya berlandaskan demokrasi, maka negara tersebut haruslah berlandaskan demokrasi, dan bila rakyat di suatu negara menghendaki negaranya berlandaskan teokrasi dan monarki, maka negara tersebut haruslah berlandaskan teokrasi dan monarki. Tetapi, demokrasi, teokrasi, dan monarki yang dimaksud bukanlah hasil kesepakatan beberapa orang saja. Apapun sistem yang dipakai, satu-satunya hal yang harus diingat adalah bahwa apapun sistem yang digunakan, kekuasaan Allah adalah yang paling utama, sehingga dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap berlandaskan Al-Quran dan Al-Hadits
2. Setiap pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam surat Ali Imran ayat 159, Allah SWT. berfirman:
“Maka dengan rahmat Allah, menjadi lunaklah hatimu terhadap mereka. Jika sekiranya engkau berhati kasar, niscaya mereka akan menjauhimu. Maka maafkanlah mereka dan mintakanlah ampun untuk mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka tentang urusan itu. Apabila kau telah berusaha, maka bertawakallah kepada Allah. Seseungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”.
Dari firman Allah ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak, kita harus bermusyawarah.
3. Islam melarang umatnya untuk memaksakan pendapat. Agama Islam menyeru umat manusia untuk tidak melakukan paksaan, apakah memaksa untuk masuk agam Islam ataupun memaksakan pendapat-pendapat pribadinya. Kita harus menghormati pendapat orang lain karena belum tentu pendapat kita yang benar. Hal ini disebabkan hanya Allah yang Maha Benar.
4. Dalam memilih pemimpin, umat Islam wajib memilih pemimpin berdasarkan sifat-sifat Rasulullah SAW. yaitu siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu. Kepemimpinan Nabi Muhammad sangat diakui oleh kawan-kawannya, maupun musuh-musuhnya. Seperti yang dikatakan oleh para ahli diatas, Nabi Muhammad telah membangun agama dan negara secara bersamaan. Rasulullah mencontohkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap. Pemimpin harus jujur, sehingga rakyat bisa mempercayainya dan tidak terjadi korupsi. Pemimpin harus amanah, sehingga ia akan menepati janji-janjinya dan rakyat akan setia mengikuti serta terus setia terhadapnya. Pemimpin harus cerdas, sehingga masalah-masalah yang ada dapat ia selesaikan denga baik. Pemimpin harus tabligh, sehingga komunikasi yang terjalin antara dirinya dan rakyatnya dapat berlangsung dengan baik. Inilah tuntunan Islam dalam memilih pemimpin.
5. Islam mewajibkan umatnya untuk patuh pada pemimpinnya. Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah paad Allah dan taatlah pada Rasul dan orang-orang yang memimpinmu(ulil amri)…”.
Jelaslah bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk taat pada pemimpinnya, tentunya jika mereka menyeru pada kebaikan.
6. Islam mewajibkan umatnya untuk bersikap adil. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk membayarkan amanat kepada yang berhak, dan apabila kamu menghukum manusia, hendaklah kamu hokum dengan keadilan. Sesungguhnya Allah sebaik-baik mengajarmu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Dari surat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk berlaku adil.
7. Umat Islam terutama pemimpinnya diwajibkan untuk menyeru dalam kebaikan dan melarang kemungkaran. Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 104 telah berfirman:
“Hendaklah ada diantara kamu umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh dengan ma’ruf (yang baik-baik) dan mencegah dari yang mungkar (yang buruk-buruk); dan mereka itulah yang menang”.
Dari firman Allah diatas yang dimaksud “diantara kamu umat yang menyeru” adalah para pemimpin. Jadi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Selanjutnya, bagaimanakah politik Islam itu? Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam. Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
Politik Islam secara substansial merupakan pengkondisian Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi dilematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya:
1. strategi akomodatif-justifikatif (bersikap konservatif) terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.
2. strategi isolatif-oposisional (bersikap radikal), yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
3. strategi integratif-kritis (bersikap moderat), yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen yang bener ya!!